Jakarta, CNBC Indonesia - Judi atau gambling memiliki banyak dampak negatif, baik secara psikologis, fisik, maupun sosial. Oleh karena itu, penting untuk diketahui efek kecanduan judi pada seseorang.
Para ahli saraf telah menemukan bahwa perjudian mengubah banyak sirkuit otak. Hal ini mirip seperti yang dialami para pecandu narkoba.
Timothy W. Fong, profesor klinis Psikiatri di Institut Jane dan Terry Semel untuk Ilmu Saraf dan Perilaku Manusia di UCLA, memaparkan bagaimana perjudian dapat memengaruhi pikiran, tubuh, dan otak.
"Ada berbagai konsekuensi yang timbul dari gangguan perjudian (sebelumnya disebut kecanduan judi atau masalah perjudian). Seperti halnya kecanduan apa pun, kerusakannya bisa berdampak pada tubuh, otak, atau pikiran seseorang," kata Dr. Fong seperti dilansir UC Health.
"Tetapi masalah umum yang kita lihat ketika orang datang berobat adalah hal-hal seperti utang finansial yang besar, hilangnya waktu, hilangnya produktivitas dan rusaknya hubungan," tambahnya.
Dr. Fong mencatat bahwa penelitian menemukan ketika orang berjuang dengan gangguan perjudian, kemungkinan besar mereka akan memiliki masalah kesehatan terkait yang berasal dari stres, kurang tidur dan bahkan masalah jantung.
Sebagian besar masalah kesehatan tersebut terkait dengan utang besar yang timbul akibat perjudian dan karena mengabaikan kesehatan diri.
Apa yang menyebabkan kecanduan judi?
Foto: Ilustrasi Judi Online (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ada beberapa alasan mengapa seseorang bisa menjadi kecanduan judi.
"Sama saja dengan penyebab kecanduan lainnya. Ini adalah kombinasi faktor risiko biologis, faktor risiko psikologis, dan faktor risiko sosial," kata Dr. Fong.
Fong menjelaskan bahwa penderita kecanduan judi secara psikologis memandang perjudian sebagai jawaban atas permasalahannya. Ketika mereka sudah berada pada titik kecanduan, perjudian tidak lagi dipandang sebagai hiburan.
Mereka kini memandang perjudian sebagai sarana untuk mengatasi kecemasan atau stres, atau sebagai sumber pendapatan utama.
Video:Resmi Dibuka, Jakarta X Beauty 2024 Hidupkan Industri Kecantikan
Judi online jadi masalah serius di Indonesia. Menurut catatan pemerintah, setidaknya ada 2,37 juta orang Indonesia yang kecanduan judi online dan 80 persen di antaranya dari kalangan bawah.
Lantas, kenapa judi online bikin kecanduan?
Sebuah studi dari University of Nevada, Las Vegas (UNLV) dan University of Western Ontario pada tahun 2009 sempat mengemukakan alasan judi online lebih bikin ketagihan dibanding judi konvensional seperti kasino.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perjudian online di rumah dapat dengan mudah mengubah perilaku perjudian menjadi komponen kehidupan sehari-hari konsumen, seperti menonton televisi," kata Kathryn LaTour, profesor di William F. Harrah College of Hotel Administration UNLV, mengutip laman resmi University of Nevada, Kamis (20/6).
"Ketika perjudian online menjadi perilaku rutin sehari-hari, lebih mudah bagi konsumen untuk terlibat dalam konsumsi tanpa berpikir tentang aktivitas tersebut, yang pada akhirnya mengakibatkan kecanduan dan kerugian finansial," lanjut dia.
Untuk penelitian ini, LaTour dan koleganya June Cotte, profesor pemasaran di University of Western Ontario, mewawancarai 20 penjudi kasino biasa dan 10 penjudi online biasa menggunakan gambar sebagai rangsangan untuk mempelajari seperti apa rasanya berjudi dan bagaimana hal itu dirasakan. Hasilnya menunjukkan penjudi online bertaruh lebih sering dan agresif.
Menurut LaTour dan Cotte perjudian kasino membutuhkan pemain harus keluar rumah ke lokasi perjudian dan lebih sulit disembunyikan. Sementara, akses judi online dapat dilakukan di komputer rumah maupun smartphone dan mudah diintegrasikan ke dalam rutinitas rumah sehari-hari,
Ini berarti lebih banyak waktu yang dapat dihabiskan untuk berjudi. Selain itu, judi online tidak memiliki interaksi sosial, sehingga para pemain terlibat dalam permainan, bukan aspek lainnya, yang dapat menarik sifat kompetitif mereka dan meningkatkan risiko kecanduan.
Para psikolog khawatir akses judi online yang semakin mudah dan meluas itu tidak hanya akan menambah banyak orang yang akan mencoba hal tersebut, tapi juga semakin banyak yang mengalami masalah terkait judi.
Bukti-bukti juga menunjukkan anak muda, terutama anak laki-laki dan pria, termasuk di antara mereka yang sangat rentan terhadap kecanduan judi.
Mengutip American Psychological Association, orang-orang berusia awal 20-an adalah kelompok penjudi yang paling cepat berkembang. Selain itu banyak anak-anak yang mulai berjudi lebih muda dari itu.
Sebuah survei di Kanada pada tahun 2018 ke 38.000 remaja mengungkap hampir dua pertiga remaja, usia 12 hingga 18 tahun, mengatakan mereka pernah berjudi atau memainkan permainan yang mirip perjudian pada tahun sebelumnya.
Para peneliti tengah menyempurnakan pemahaman mereka tentang prinsip-prinsip psikologis yang mendasari dorongan untuk berjudi dan dasar-dasar neurologis dari apa yang terjadi di otak para penjudi yang berjuang untuk berhenti.
Penelitian menunjukkan variasi dalam volume dan aktivitas area tertentu di otak yang terkait dengan pembelajaran, manajemen stres, dan pemrosesan hadiah yang dapat berkontribusi pada perjudian yang bermasalah.
Masalah perjudian, yang sebelumnya disebut perjudian patologis, dianggap sebagai gangguan kontrol impuls hingga tahun 2013, ketika DSM-5 mengklasifikasikannya sebagai gangguan kecanduan.
Hal ini menjadikan kecanduan judi sebagai kecanduan perilaku yang pertama, dan sejauh ini satu-satunya, yang didefinisikan di bagian klinis DSM-5 (dengan beberapa petunjuk bahwa gangguan video game pada akhirnya akan menyusul).
Seperti kecanduan alkohol dan obat-obatan, kecanduan judi ditandai dengan meningkatnya toleransi yang membutuhkan lebih banyak perjudian seiring berjalannya waktu untuk merasa puas. Orang dengan gangguan ini juga dapat mengalami penarikan diri yang menyebabkan iritabilitas ketika mereka mencoba untuk berhenti.
Jeffrey Derevensky, psikolog dan direktur Pusat Internasional untuk Masalah Perjudian Remaja dan Perilaku Berisiko Tinggi di McGill University, mengatakan orang-orang bisa terpapa judi online sejak dini dan tanpa sadar. Salah satunya adalah dengan game online yang saat ini mudah diakses di smartphone.
Menurut dia game online yang mensimulasikan perjudian tanpa risiko finansial sering kali tersedia untuk anak-anak yang masih sangat muda.
Ia mengaku pernah menyaksikan seorang gadis muda bermain game mesin slot di tablet yang dipasang di ruang tunggu bandara. Anak perempuan itu kemudian menang dan mendapatkan poin, bukan uang sungguhan, dan menyukai permainan tersebut.
"Dia menang, dan dia berkata kepada ayahnya, 'Saya tidak sabar untuk memainkannya secara nyata,' dia pasti masih berusia tidak lebih dari 6 tahun," kata Derevensky.
Hasil penelitian juga menunjukkan sekitar 40 persen remaja telah memainkan permainan judi simulasi. Permainan ini sering kali melibatkan lebih banyak kemenangan daripada permainan di dunia nyata.
Pengenalan yang menyenangkan tanpa taruhan finansial dapat memicu minat. Penelitian ini menunjukkan remaja yang bermain game simulasi perjudian untuk mendapatkan poin berisiko lebih tinggi mengalami masalah perjudian di kemudian hari.
Melihat orang tua, saudara kandung, atau anggota rumah tangga lainnya berjudi juga menormalkan perjudian untuk anak-anak, membuat mereka lebih mungkin terlibat dalam perjudian dan perilaku berisiko lainnya, termasuk penggunaan alkohol dan narkoba.
Penelitian lain juga mengungkap semakin dini anak-anak terpapar perjudian melalui game online dan media lainnya, semakin parah masalah perjudian mereka di kemudian hari.
Efek judi terhadap otak manusia
Perjudian memiliki efek yang sama seperti kokain, heroin, nikotin, dan alkohol, yang mengaktifkan sistem 'hadiah' di otak manusia. Sistem ini mendapat tenaga dari dopamin, yaitu neurotransmitter di dalam otak yang memperkuat sensasi kenikmatan dan menghubungkan sensasi tersebut dengan perilaku atau tindakan tertentu.
Sebuah penelitian di Jerman pada tahun 2005 yang menggunakan permainan kartu menunjukkan bahwa para pecandu judi telah kehilangan kepekaan terhadap kesenangan mereka ketika menang. Dalam sebuah studi tahun 2003 di Universitas Yale dan studi tahun 2012 di Universitas Amsterdam, para penjudi patologis yang diteliti memiliki tingkat aktivitas listrik yang sangat rendah di wilayah otak prefrontal yang membantu orang menilai risiko dan menekan naluri. Pecandu narkoba juga sering kali memiliki korteks prefrontal yang lesu.
Namun, Dr. Fong menyoroti perbedaan yang signifikan antara perjudian dan narkoba.
"Berjudi, tidak seperti kecanduan lainnya, dikaitkan dengan distorsi kognitif. Orang-orang berkata, 'Jika saya terus berjudi, pada akhirnya saya akan menang.' Anda tidak mengatakan hal yang sama saat kecanduan alkohol, tembakau, atau kokain," ungkapnya.
Lebih lanjut Fong menyebut bahwa distorsi kognitif sering kali terjadi pada orang-orang yang kehilangan banyak uang atau aset lain karena perjudian. Kadang-kadang harga diri, ego, atau rasa putus asa mendorong mereka untuk lebih banyak berjudi, dengan harapan bisa menutup kerugian mereka.
Saksikan video di bawah ini: